Inilah Indonesiaku
Apakah
sebenarnya hukum itu ? hukum adalah peraturan-peraturan yang dibuat oleh badan yang berwenang yang berisi perintah ataupun larangan untuk mengatur tingkah laku manusia
guna mencapai keadilan, keseimbangan dan keselarasan dalam hidup. Dengan kata lain
untuk mencegah terjadinya kekacauan dan lain sebagainya dalam hidup. Sebagai
contoh, dalam suatu negara pasti
terdapat suatu peraturan-peraturan yang
mengatur tentang hubungan orang atau warga negara dengan negara. Itu disebut
hukum. Contoh lain dalam suatu masyarakat ataupun daerah terdapat suatu
tata-cara dalam bertingkah laku dalam masyarakat atau daerah tersebut. Itu juga
disebut hukum. Sedangkan Keadilan pada hakikatnya
adalah memperlakukan seseorang atau pihak lain sesuai dengan haknya. Yang
menjadi hak setiap orang adalah diakuai dan diperlakukan sesuai dengan harkat
dan martabatnya, yang sama derajatnya, yang sama hak dan kewajibannya, tanpa
membedakan suku, keturunan, dan agamanya.
Beberapa tahun
belakangan ini, hukum Indonesia semakin parah saja. Hukum seakan-akan bukan
lagi dasar bagi bangsa Indonesia, rakyat Indonesia seolah tak lagi takut pada
hukum yang berlaku di negara ini.
Kebanyakan orang akan
bicara bahwa hukum di Indonesia itu dapat di “beli”, yang menang mereka yang
mempunyai kekuasaan, yang punya uang banyak pasti aman dari gangguan hukum
walaupun aturan negara dilanggar. Ada pengakuan informal di masyarakat bahwa
karena hukum dapat di beli maka aparat penegak
hukum tidak dapat diharapkan untuk melakukan penegakan hukum secara menyeluruh
dan adil. Praktik penyelewengan dalam proses penegakan hukum, seperti mafia
hukum dan peradilan, peradilan yang diskriminatif atau rekayasa proses
peradilan merupakan realitas yang gampang ditemui dalam penegakan hukum di
negeri ini. Peradilan yang diskriminatif menjadikan hukum di negeri ini persis
seperti yang dideskripsikan Plato bahwa hukum adalah jaring laba – laba yang
hanya mampu menjerat yang lemah tetapi akan robek jika menjerat yang kaya dan
kuat.
Menurunnya kualitas
sebagai negara hukum di Indonesia tidak lepas dari lemahnya etika para
profesional hukum. Menggejalanya perbuatan profesional yang mengabaikan kode
etik profesi karena beberapa alasan yang paling mendasar, baik sebagai individu
anggota masyarakat maupun karena hubungan kerja dalam organisasi profesi, di
samping sifat manusia yang konsumeristis dan nilai imbalan jasa yang tidak sebanding dengan jasa yang
diberikan. Naif sekali. Indonesia
benar-benar berduka dengan matinya hukum dan keadilan. Korupsi politik adalah
fakta keindonesiaan kita hari ini.
Bebasnya Gayus
Tambunan, terdakwa kasus penggelapan pajak, melenggang keluar-masuk Rumah
Tahanan Mako Brimob bukanlah peristiwa baru. Ia masih cukup bebas menghirup
udara segar setelah divonis Mahkamah Agung. Ia masih sempat berjudi di kasino
Marina Bay (Singapura), Venetian (Macau), dan Los Angeles. Ia juga pernah
tertangkap kamera wartawan ketika ia menonton pertandingan tenis di Bali. Gayus
juga menyebut mereka yang menjadi tahanan di rutan Mako melakukan hal serupa.
Selepas kejadian mengherankan itu, muncul indikasi kecurigaan terhadap
integritas pemerintah dan hukum di Indonesia. Konon dikatakan sipir penjara
disuap sebesar 50 juta rupiah, dalam sekali pelepasan tahanan.
Kasus lain ialah kasus Nazarudin. Tersangka kasus korupsi wisma atlet ASEAN
GAMES ini menghabiskan 6 triliun rupiah kas negara, namun belum diproses secara
formal. Masih banyak nama-nama petinggi negara yang disebut.
Dilanjutkan pada kasus
yang tak kalah ironis bagaimana seorang tersangka tipikor yang merugikan negara Rp 40,75 miliar bernama Syaukani yang
merupakan mantan Bupati Kutai Kartanegara, mendapat grasi dari Presiden SBY dan
atas petimbangan MA masa tahanannya dikurangi tiga tahun karena yang
bersangkutan menderita sakit parah dan berakibat pada bebasnya sang koruptor.
Patrialis Akbar yang saat itu menjabat sebagai Menkumham memberikan penjelasan
bahwa dasar dari pemberian grasi tersebut adalah alasan kemanusiaan. Namun
Ketika ditanya soal grasi yang diberikan MA terlalu besar, Patrialis tidak mau
berkomentar banyak, beliau hanya menyatakan itu merupakan keputusan MA dan
pemerintah hanya menjalankannya.
Sedangkan kasus terbaru yang beda dari kasus diatas ialah kasus penabrakan pejalan kaki ditrotoar oleh
pengemudi mobil Daihatsu Xenia bernama Aftriani
Susanti. Setelah diselidiki sebab-musabab ia melakukan penabrakan
tersebut, diketahui bahwa sang pengemudi berada dalam pengaruh alkohol dan sabu-sabu. Namun, yang
menakjubkan ialah ia hanya dikenakan vonis 6 tahun penjara, padahal
kesalahannya berlipat ganda; membunuh orang, merusak trotoar, mengonsumsi sabu-sabu, dan mengemudi dalam pengaruh alkohol. Ini hanya segelintir
cerita dari praktik buruknya mekanisme penegakan hukum di Indonesia.
Sebuah fenomena menarik dapat kita simpulkan dari vonis masa tahanan yang
diberikan pada 3 pendosa besar diatas. Kesalahan mereka sangat berat dan merugikan banyak
orang. Namun, ketika uang disodorkan pada
penegak hukum, segala perkara dapat selesai dengan mudah, semua dapat
diperingan. Bayangkan dengan kondisi kronis yang dialami rakyat kecil.
Sebagai contoh, seorang pencuri buah kakao di perkebunan swasta, ia hanya
mengambil buah-buah yang jatuh dari
pohon, kemudian hendak dijualnya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Namun,
pemilik kebun tidak terima dan melaporkan kejadian itu ke polisi. Pencuri buah
kakao ini pun divonis 1,5 bulan penjara, padahal pencuri ini adalah seorang
nenek berusia senja.
Saya setuju apapun namanya mencuri adalah kesalahan dan tidak dapat dibenarkan. Namun
demikian jangan lupa hukum juga
mempunyai prinsip kemanusiaan. Apa mungkin seorang nenek berusia lanjut dan buta
huruf dihukum hanya karena ketidaktahuan dan keawamannya tentang hukum.
Sangat miris ketika
melihat seorang nenek tua duduk di depan pengadilan dengan wajah tuanya dan
tatapan kosong. Bahkan untuk datang ke
persidangan pun, nenek tersebut harus meminjam uang sebesar Rp. 30.000,- untuk
biaya transportasi karena jarak pengadilan dari rumah yang memang cukup jauh.
Hal ini sangat ironis
karena seorang nenek tua saja bisa menghadiri persidangannya walaupun harus meminjam uang untuk biaya trasportasi
sedangkan seorang pejabat yang terkena kasus hukum mungkin banyak yang mangkir
dari panggilan pengadilan dengan alasan sakit yang dibuat-buat atau alasan
lainnya,seperti korupsi kelas kakap.
Ketidakadilan hukum Indonesia niscaya telah memperburuk citra diri bangsa yang
memang sudah rusak, sekaligus menjajah bangsa sendiri. Saya sendiri merasa malu
dengan moral bangsa ini yang begitu naïf. Ada pertanyaan besar yang timbul dari
serangkaian kasus di negeri ini, Apakah hukum di Indonesia bisa di beli dengan
uang ? Jika bisa, konglomerat tidak perlu takut
melanggar hukum karena mereka dapat bernegoisasi di belakang pengadilan
agar mendapatkan keringanan hukum. Yang
menjadi masalah adalah rakyat kecil yang semakin tidak terlindungi dan semakin
tertindas.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apa bangsa ini sudah dibilang merdeka dan
mandiri sedangkan hukumnya saja di
kontrol dengan uang ? menurut saya, Indonesia bahkan belum dapat di bilang
sepenuhnya merdeka karena bangsa ini masih terbelenggu oleh ketidakadilan
pemerintahannya sendiri.
Hukum dan keadilan
menjadi barang mahal di negeri ini. Prinsip peradilan yang cepat, biaya ringan
dan sederhana sulit untuk ditemukan dalam praktik peradilan. Di negeri ini Law
Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain dari kata
“sulit dan susah untuk diharapkan”.
Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang
lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat
diperdagangkan. Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita
sendiri yang berminat sebagai pembelinya. Di sini semakin tanpak bahwa keadilan
dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada
seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya.
Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah”
memihak kepada mereka yang lemah dan miskin. Sindiran yang sifatnya sarkatisme
mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik
dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai
pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”.
Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-Tokoh tertentu
dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat
mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan
tanggungjawabnya. Diatas sudah saya paparkan ketimpangan yang mungkin dirasa
kurang adil bagi Rakyat indonesia perlunya penegak Hukum yang benar-benar tegak
agar negara indonesia mampu menjadi negara hukum yang baik. sekian dari uaraian
saya, Salam Yuridis dan Salam Justicea
!!!
mantap kang, memang negara kita masih dalam proses belajar, belajar dari kesalahan, jadi perlu membuat kesalahan dahulu baru belajar.., haha
BalasHapus